Senin, 09 April 2012

Analisis Keuntungan dan kerugian Rokok di Indonesia


KATA PENGANTAR

            Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatNya kami dapat menyelesaikan karya tulis ini tepat pada waktunya. Mengucap syukur buat berkat yang diberikan melalui tugas ini. Dengan adanya tugas ini boleh menambah pengetahuan kami dan menambah pengalaman kami. Kami  juga mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen mata kuliah Perekonomian Indonesia, atas kesempatan yang diberikan kepada kami untuk menyelesaikan karya tulis ini. Dan pada kesempatan membuat karya tulis ini, pengetahuan tentang Analisis kerugian dan keuntungan bagi Indonesia semakin bertambah. Dan juga kepada teman-teman yang memberikan motivasi dan inspirasi dalam membuat karya tulis ini.
            Dalam pembuatan karya tulis ini, kami mungkin membuat banyak kesalahaan secara tidak sengaja. Banyak kelemahan dalam membuat karya tulis ini. Oleh sebab itu, mengingat akan tujuan kami menulis karya tulis ini adalah untuk menambah pengetahuan, maka kami mohon maklum atas segala kesalahan dalam penulisan karya tulis ini. Kami  juga menerima kritik dan saran pembaca karya tulis ini dan berharap dapat menjadi inspirasi serta motivasi di penulisan karya tulis lainnya.
            Demikianlah kata pengantar dari kami. Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi kita semua yang membacanya.


Penulis,







BAB I.
PENDAHULUAN
Jumlah perokok di Indonesia terus meningkat dari tahun 1995 hingga kini. Yaitu dari sebanyak 34,7 juta perokok menjadi 65 juta perokok. Ini berdasarkan data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional dan Riset Kesehatan Dasar. “Berdasarkan jenis kelamin pada tahun 1995 diperkirakan ada 33,8 juta perokok laki-laki dan 1,1 juta perokok perempuan. Namun, pada tahun 2007 angka ini meningkat drastis menjadi 60,4 juta perokok laki-laki dan 4,8 juta perokok perempuan,” kata Peneliti Lembaga Demografi FEUI, Abdillah Hasan, Jakarta, Rabu. Ia menjelaskan, prevalensi merokok pada usia remaja juga sangat mengkhawatirkan, jika pada tahun 1995 hanya tujuh persen remaja merokok, lalu 12 tahun kemudian meningkat menjadi 19 persen. Menurut dia, peningkatan yang drastis ini membuktikan betapa efektifnya strategi industri rokok dan betapa lemahnya pemerintah dalam melindungi remaja dari rokok.
Dikatakan Abdillah, fenomena tersebut disebabkan oleh tingginya pertumbuhan penduduk, tingginya pertumbuhan ekonomi, belum efektif kawasan bebas rokok dan lemahnya peraturan tentang pengendalian konsumsi rokok di Indonesia. “Ada empat instrumen untuk menurunkan konsumsi rokok, yaitu peningkatan harga rokok melalui peningkatan cukai, pelarangan iklan rokok secara meluruh, peringatan kesehatan bergambar di bungkus rokok dan kawasan tanpa rokok,” kata dia. Sementara itu, Wakil Kepala Lembaga Demografi FEUI, Dwini Handayani mengatakan rokok termasuk barang yang konsumsinya perlu dikendalikan dan diawasi peredarannya karena efek rokok sangat buruk bagi perokok dan lingkungan. Dikatakannya, untuk mengendalikan konsumsi rokok memang memerlukan biaya yang sangat besar. Ia menjelaskan, efek buruk dari rokok akan dirasakan jangka panjang yaitu, sekitar 25 tahun ke depan.
Keberadaan industri rokok di Indonesia memang dilematis. Di satu sisi mereka diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan bagi pemerintah karena cukai rokok diakui mempunyai peranan penting dalam penerimaan negara. Namun di sisi lainnya dikampanyekan untuk dihindari karena alasan kesehatan. Peranan industri rokok dalam perekonomian Indonesia saat ini terlihat semakin besar, selain sebagai motor penggerak ekonomi juga menyerap banyak tenaga kerja. Dalam 10 tahun terakhir industri rokok di Indonesia mengalami pertumbuhan fenomenal. Resesi ekonomi yang dimulai dengan krisis moneter sejak Juli 1997 tidak terlalu berpengaruh dalam kegiatan industri tersebut. Pada Tahun 1994 penerimaan negara dari cukai rokok saja mencapai Rp 2,9 triliun, Tahun 1996 meningkat lagi menjadi Rp 4,153 triliun bahkan pada tahun 1997 yang merupakan awal dari krisis ekonomi penerimaan cukai negara dari industri rokok menjadi Rp 4,792 triliun dan tahun 1998 melonjak lagi menjadi Rp 7,391 triliun (Indocommercial, 1999: 1).

















BAB II.
ISI
A.    ROKOK SEBAGAI SALAH SATU DEVISA DAN KEKAYAAN NEGARA.
Rokok selalu menjadi perbincangan banyak orang. Hal utama yang dibahas sudah tentu tentang berbagai masalah yang disebabkannya, baik bagi kesehatan ataupun kualitas hidup pecandunya. Memang hampir kebanyakan opini publik jika ditanya soal rokok akan mengarah pada sisi negatif, padahal di balik rokok tersebut hidup juga para petani tembakau, pengusaha rokok, pekerja pabrik rokok, penjual rokok serta orang-orang yang menjual jasa pada pengusaha pabrik rokok. Mereka semua bisa bertahan hidup karena manfaat rokok.
Ini adalah salah satu manfaat rokok. Selain itu, negara juga menetapkan bea cukai rokok yang besar, tujuannya memang untuk membatasi peredaran rokok dengan menaikan harga. Namun sepertinya strategi tersebut tidak begitu relevan dalam usaha membatasi perdaran rokok, melainkan malah berjasa pada pendapatan negara.
Kita memang sudah tahu bahwa rokok merupakan salah satu penghasil devisa negara. Tingginya cukai rokok disebut-sebut sebagai salah satu penyumbang devisa terbesar, tercatat sebesar 16,5 triliun Rupiah pada tahun 2004. Namun fakta selanjutnya lebih mencengangkan lagi. Masih pada tahun yang sama pemerintah mengeluarkan anggaran lebih dari 127 triliun Rupiah untuk mengatasi berbagai masalah yang berhubungan dengan rokok. Lebih dari tujuh kali lipatnya sekaligus kembali menguras cukai rokok serta pendapatan negara yang didapatkan sebelumnya. Sebuah jumlah yang mencengangkan jika dibandingkan dengan pengetahuan masyarakat umum.
Selintas memang kita lihat rokok tersebut berjasa bagi anggaran serta kekayaan negara, padahal selain biaya untuk mengatasi permasalahan yang timbul akibatnya jauh lebih besar, negara juga kehilangan sesuatu yang lebih penting yaitu generasi muda yang cerdas dan sehat. Tingginya tingkat perokok dalam masyarakat hampir-hampir mencekik segala bidang, mulai dari pendidikan, tingkat perekonomian dan terutama kesehatan. Rokok memiliki 40.000 bahan kimia yang berbahaya, masuknya semua bahan kimia tersebut dapat merusak fungsi organ tubuh, menyerang saraf, menurunkan daya pikir dan menyerang gen.
Harga rokok di Indonesia sangat rendah karena cukai yang dikenakan sangat rendah (yakni 38% terendah setelah kamboja), sehingga konsumsi rokok meningkat. Hal ini bisa dibandingkan dengan harga jual rokok Marlboro pada tahun 2008 yang di Singapura berharga USD 8.64, di Malaysia USD 2,56 sementara di Indonesia hanya USD 1,01 (data dari Fact Sheet TCSC ISMKMI). Rokok juga menjadi pengeluaran terbesar kedua bagi para rakyat Indonesia. Pada data di Lembaga Demografi FE UI tahun 2006 tercatat pengeluaran rokok sebesar 11,89%, setengahnya dari pengeluaran terhadap padi-padian yang mencapai 22,10%, namun lebih tinggi daripada Listrik, telepon dan BBM yang sebesar 10,95 % serta lebih tinggi dari pada Sewa dan Kontrak yang mencapai 8,82%.
Penerimaan cukai tembakau meningkat 29 kali lipat dari Rp 1,7 trilyun menjadi Rp. 49,9 trilyun dari tahun 1990-2008. Ini bukti bahwa kenaikan tingkat cukai tembakau yang dilakukan pemerintah efektif untuk meningkatkan penerimaan negara. Dengan fakta ini, mitos bahwa peningkatan cukai tembakau akan mengurangi penerimaan negara dapat terbantahkan. Ironisnya, kontribusi cukai ini terhadap total penerimaan negara menurun menjadi 5,2% pada tahun 2008. Peningkatan cukai sebesar 2 kali lipat akan menambah
1.                  Pendapatan masyarakat sebesar Rp. 491 Milyar
2.                  Output perekonomian sebesar Rp. 333 Milyar
3.                  Lapangan kerja sebanyak 281.135
Dilain sisi, peningkatan cukai menjadi 57%, maka:
1.                  Jumlah perokok akan berkurang 6,9 juta orang
2.                  Jumlah kematian terkait rokok turun 2,4 juta
3.                  Penerimaan negara dari cukai tembakau bertaambah dengan Rp. 50,1 trilyun.
B.     ROKOK SEBAGAI KERUGIAN NEGARA.
Selama ini rokok dibilang sebagai penyumbang devisa terbesar untuk negara padahal nyatanya rokok justru menyumbang kerugian terbesar negara. Kerugian yang ditimbulkan rokok bukan hanya masalah kesehatan saja tapi juga masalah moral dan finansial.
Menurut data Depkes tahun 2004, total biaya konsumsi atau pengeluaran untuk tembakau adalah Rp 127,4 triliun. Biaya itu sudah termasuk biaya kesehatan, pengobatan dan kematian akibat tembakau. Sementara itu penerimaan negara dari cukai tembakau adalah Rp 16,5 triliun. “Artinya biaya pengeluaran untuk menangani masalah kesehatan akibat rokok lebih besar 7,5 kali lipat daripada penerimaan cukai rokok itu sendiri. Jadi sebenarnya kita ini sudah dibodohi, sudah tahu rugi tapi tetap dipertahankan dan dikerjakan. Inilah cara berpikir orang-orang tertentu yang bodoh,” tutur kata Prof Farid A Moeloek, Ketua Komisi Nasional Pengendalian Tembakau dalam acara Peningkatan Cukai Rokok: Antara Kepentingan Ekonomi dan Kesehatan di Hotel Sahid Jakarta, Rabu (17/2/2010).
Prof Farid mengatakan, rokok adalah pintu gerbang menuju kemaksiatan, penurunan moral dan lost generation. “Tidak ada orang yang minum alkohol, terkena HIV, atau memakai narkoba tanpa merokok terlebih dahulu,” kata Prof Farid yang juga mantan menteri kesehatan ini. “Menurut agama saja menghisap rokok adalah kegiatan yang mubazir atau makruh. Memang dilema, di satu sisi negara butuh uang tapi di sisi lain banyak yang dirugikan akibat rokok,” tambahnya.
Dalam UU Kesehatan No.36 Tahun 2009 disebutkan bahwa nikotin adalah zat aditif, sama halnya dengan alkohol dan minuman keras. “Jadi rokok harusnya juga diperlakukan sama dengan narkoba. Artinya kalau narkotik tidak diiklankan, merokok juga harusnya tidak boleh. Masalah rokok juga harus ditangani secara spesial,” ujarnya. Kenaikan cukai tembakau rokok sebesar 15 persen menurut Prof Farid dianggap tidak akan berpengaruh.
Pertama, karena rokok mengandung nikotin yang bersifat candu, jadi bagaimanapun juga orang akan terus mencari dan mencari rokok untuk memenuhi kebutuhannya.
Kedua, grafik elastisitas rokok bersifat inelastis, jadi kenaikan harga rokok tidak akan terlalu mengurangi konsumsi rokok. Ketiga, pertambahan penduduk terus terjadi dan hal ini memungkinkan semakin banyak orang yang merokok.
Untuk itu solusinya adalah, perlu regulasi atau Peraturan Pemerintah (PP) khusus yang mengatur ketat penggunaan rokok. Sebenarnya sudah banyak UU yang mengatur tentang rokok, misalnya UU Kesehatan No 36/2009, UU Penyiaran No 33/1999, UU Perlindungan Anak No 23/2002, UU Psikotropika No 5/1997 dan UU Cukai No 39/2007.
“Di situ ada aturannya nikotin harus dibagaimanakan. Tapi karena UU itu berjalan sendiri-sendiri maka tujuannya jadi tidak tercapai. Yang dibutuhkan hanya harmonisasi UU,” katanya.
            Peningkatan cukai rokok juga menurut Prof Farid harus didistribusikan pada kegiatan-kegiatan untuk menangani sektor kesehatan. “Perokoklah yang membayar cukai tembakau sehingga sudah semestinya dana cukai dikembalikan untuk memperbaiki kesehatan masyarakat,” ujarnya.






C.     MELIHAT DARI ANALSIS HUBUNGAN KEUNTUNGAN DARI PABRIK ROKOK PT. GUDANG GARAM PADA TAHUN 2007.

                 Dalam industri rokok, dominasi dari para pelaku utama bisnis ini sudah cukup dikenal. Pada tiga tahun terakhir (tahun 1999, 2000, 2001) ternyata 3 perusahaan rokok, yaitu PT.Gudang Garam Tbk, PT. HM Sampoerna Tbk dan PT. Djarum, selalu masuk dalam jajaran “Sepuluh Besar Perusahaan Terbaik di Indonesia” di antara 200 Top Companies di Asia yang disusun peringkatnya oleh majalah Far Eastern Economic Review (FEER). Di tengah krisis ekonomi yang dinilai belum tampak pangkal akhirnya, sungguh melegakan bahwa setidaknya ada 10 perusahaan yang masuk kategori berkinerja prima di antara 200 perusahaan terbaik di kawasan Asia. Menariknya, di antara 10 besar tersebut, tiga di antaranya merupakan raksasa kretek Indonesia.
                 Uniknya, lokasi empat perusahaan rokok yang mengusai pasar di Indonesia PT. Gudang Garam Tbk, PT. HM. Sampoerna Tbk, PT Djarum, dan PT. Bentoel masing-masing amat terkonsentrasi secara geografis. Secara regional, masing-masing Perusahaan ini berperanan dalam tumbuh dan berkembangnya kluster industri rokok di Kabupaten Kediri, Kota Surabaya, Kabupaten Kudus dan Kota Malang. PT. Gudang Garam Tbk didirikan pada tahun 1958 di Kediri, pertama kali memproduksi klobot kretek. Berkat sistem manajemen yang profesional terutama menjelang tahun–tahun awal 1980-an perusahaan ini melejit mendahului perusahaan-perusahaan lainnya. Perusahaan ini menjadi perusahaan publik terbesar dalam industri rokok. PT Gudang Garam, Tbk adalah penguasa pangsa pasar terbesar industri rokok kretek di Indonesia yang menghasilkan 74,4 miliar batang rokok atau 45,4 % dari jumlah produksi 22 perusahaan terbesar yang bergabung dalam GAPPRI. Porsi sigaret kretek tangan (SKT) yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut terus menurun, pada tahun 1998 dari 74,4 miliar batang rokok yang dihasilkan 61,2 miliar batang rokok (82,1%) adalah sigaret kretek mesin (SKM), sementara produksi SKT dan klobot hanya 13,1 miliar (Indocommercial, 1999:1)
                 Melalui merek andalannya, Gudang Garam Pada tahun 2002 Pernah menguasai pangsa pasar hingga 50%. Sumbangan terbesar Gudang Garam diperoleh dari SKM dengan merek Gudang Garam Filter International. Merek dalam segmen SKM yang dimiliki oleh Gudang Garam antara lain Gudang Garam Surya 12, Gudang Garam Surya 16, Gudang Garam Filter International Merah 12, Gudang Garam Filter International Merah 16. Sedangkan merek dalam segmen SKT yang dimiliki Gudang Garam adalah Gudang Garam King Size 12,Gudang Garam King Size 16 dan Gudang Garam Surya Pro (Indocommercial, 2002: 4)
                 PT. Gudang Garam juga merupakan salah satu produsen rokok kretek terkemuka yang menguasai pangsa pasar terbesar di Indonesia, memproduksi lebih dari 70 miliar batang rokok dari 220 miliar produksi rokok nasional pada tahun 2001 atau menguasai sekitar 32% produksi rokok nasional. Selain itu PT. Gudang Garam Tbk. dikenal sebagai produsen rokok kretek yang bermutu tinggi. Sehingga sejak 8 tahun lalu, selain memproduksi rokok untuk memenuhi permintaan nasional, PT. Gudang Garam juga memproduksi rokok dengan kualitas dunia untuk diekspor ke beberapa negara di dunia seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Taiwan, Korea Selatan, Saudi Arabia, Australia, Jepang, Belanda, Jerman, Prancis dan Inggris sesuai dengan permintaan khusus atas jenis rokok yang paling diminati oleh masing-masing negara pengimpor.
                 Berdasarkan sekilas deskripsi Perkembangan Industri Rokok di indonesia sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa PT. Gudang Garam Tbk. sebagai bagian dari Industri rokok di Indonesia dapat dikategorikan dalam Industri Oligopoli. Sebab, pangsa pasar rokok di Idonesia hanya dikuasai oleh 4 perusahaan besar Lokal sejenis dan satu Perusahaan Asing yaitu Philip Morris Co.Ltd. (perusahaan penghasil rokok) saat itu. Sehingga Setiap perusahaan yang bersangkutan harus mengetahui bahwa setiap kebijakan harga, kualitas, output, dan iklan yang mendorong reaksi dari pesaing merupakan kunci Keberhasilan Perusahaan dalam memperebutkan konsumen. Selain itu, kondisi persaingan yang ketat akan menjadi hambatan yang berarti bagi pesaing baru untuk masuk dalam industri tersebut
.                Salah satu prinsip penting yang perlu dicermati oleh perusahaan dalam Industri Oligopoli adalah Perusahaan tidak memiliki kekeluasaan terhadap Penentuan harga, faktor-faktor yang melatarbelakanginya antara lain :
     1. Kebijakan suatu perusahaan untuk menurunkan harga dengan maksud meningkatkan permintaan hanya menghasikan peningkatan keuntungan sesaat. Sebab, kebijakan tersebut akan memicu reaksi perusahaan pesaing untuk melakukan penurunan harga pula. Sehingga kondisi tarik-menarik permintaan yang terjadi antara Perusahaan dalam Industri Oligopoli akan selalu terjadi. Kondisi tersebut dapat terlihat dalam Kurva Permintaan Patah.
     2. Sebaliknya, dalam kondisi perekonomian yang tidak stabil, Kebijakan suatu Perusahaan untuk menaikkan harga dengan maksud menekan kerugian atas kenaikan biaya total atau dengan maksud meningkatkan keuntungan, akan menimbulkan reaksi dari Perusahaan pesaing untuk tetap mempertahankan harga lama. Hal itu dilakukan perusahaan pesaing dengan tujuan untuk menyerap permintaan baru yang timbul akibat penurunan permintaan perusahaan yang menetapkan kenaikan harga tersebut.




A.  Analisis Keuntungan Produksi Rokok PT.Gudang Garam Tbk.

a. Internal
            Analisis internal Produksi Rokok PT.Gudang Garam adalah analisis untuk mengetahui produktifitas dan pencapaian keuntungan atas produksi kretek PT.Gudang Garam tahun 2007. Dalam Analisis Internal terdapat beberapa tahap analisis yaitu 1.)identifikasi faktor-faktor produksi dan variabel-variabel yang digunakan dan mendukung fungsi-fungsi yang menjadi indikator pencapaian keuntungan Produksi Rokok PT.Gudang Garam tahun 2007. Fungsi-fungsi tersebut antara lain :

1. Fungsi Pendapatan (Revenue)
Fungsi Pendapatan dalam Produksi Rokok adalah fungsi yang menjadi indikator tingkat penjualan Rokok selama periode tertentu. 2 Variabel yang menyusun fungsi pendapatan adalah Harga Rokok /Batang (P) dan Jumlah Rokok (Q). Berdasarkan 2 variabel tersebut dapat ditentukan Pendapatan Total (TR), Pendapatan Rata-Rata (AR) dan Pendapatan Marginal (MR).
a. Pendapatan Total (Total Revenue)
Pendapatan total dalam produksi rokok adalah pendapatan yang diperoleh melalui penjualan atas total rokok yang diproduksi selama periode tertentu.
b. Pendapatan Rata-Rata (Average Revenue)
Pendapatan Rata-rata dalam produksi rokok adalah pendapatan yang diperoleh melalui penjualan atas setiap batang rokok yang diproduksi selama periode tertentu.
c. Pendapatan Marginal (Marginal Revenue)
Pendapatan Marginal dalam produksi rokok adalah pendapatan Tambahan yang diperoleh penjualan atas setiap tambahan batang rokok yang diproduksi selama periode tertentu.

            Beberapa persamaan pendapatan yang telah dipaparkan sebelumnya dan data tentang jumlah rokok yang terjual sebesar 59,986 M serta perkiraan harga rokok per-batangnya sebesar Rp.469 pada tahun 2007, dapat diketahui bahwa total Penjualan PT.Gudang Garam pada tahun 2007 adalah sebesar Rp 28.158.428.000.000 yaitu meningkat sebesar 6,9% dari tahun 2006 yang mencpai 26,34 T. Peningkatan tersebut didipicu oleh pertumbuhan tingkat produksi rokok sebesar 0.5%/bulan sehingga tingkat penjualan rokok meningkat sebesar 0,5 – 0,6%.

2. Fungsi Biaya ( Total Cost)
Fungsi biaya dalam Produksi Rokok adalah fungsi yang menjadi indikator tingkat pengeluaran PT.Gudang Garam untuk memproduksi rokok selama tahun 2007. Fungsi pengeluaran atau fungsi biaya terbagi manjadi 3 yaitu :
a. Biaya Total ( Total Cost )
Biaya total Dalam Produksi Rokok adalah Keseluruhan Biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk menghasilkan sejumlah rokok selama periode tertentu. Biaya Total tersusun atas Biaya Tetap dan Biaya Variabel dan berikut ini persamaan yang digunakan untk menentukan Total Cost :
·         Biaya tetap (fix cost)
Biaya Tetap Dalam Produksi Rokok adalah biaya yang tidak dipengaruhi oleh perubahan Jumlah Rokok yang diproduksi dalam periode tertentu. Biaya tetap meliputi biaya administrasi (biaya perlengkapan kantor), biaya umum(biaya listrik, air, telepon dan PBB).
·         Biaya variabel (vareable cost)
Biaya veriabel Dalam Produksi rokok adalah biaya yang besar pengeluarannya dipengaruhi oleh perubahan tingkat jumlah Rokok yang diproduksi dalam periode tertentu. Dalam hal ini biaya veriabel meliputi biaya pokok penjualan dan biaya pokok produksi (bahan baku : tembakau dan cengkeh;, upah tenaga produksi) dan biaya penjualan (transportasi, PPN/bea cukai dan lain-lain).
b.  Biaya Total Rata-rata (Average Total Cost )
Biaya Total Rata-rata Dalam Produksi rokok adalah biaya Total yang dikeluarkan Perusahaan untuk memproduksi satu batang rokok selama periode tertentu.



·         Biaya Tetap Rata-rata (Average Fix Cost)
Biaya tetap Rata-rata Dalam Produksi rokok adalah biaya tetap yang dikeluarkan untuk menghasilkan setiap batang rokok secara eksplisit selama periode tertentu.
·         Biaya Variabel Rata-rata (Average Vareable Cost)
Biaya Varebel Rata-rata Dalam Produksi rokok adalah biaya yang besar pengeluarannya dipengaruhi oleh setiap batang rokok yang dihasilkan secara selama periode tertentu
c. Biaya Marginal (Marginal Cost)
Biaya Marginal Dalam Produksi rokok adalah biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk setiap tambahan produksi rokok selama peride tertentu.

3. Fungsi Keuntungan ( Profit)
            Fungsi Profit dalam Produksi rokok adalah fungsi yang terbentuk dari selisih yang terjadi antara Total Pendapatan atas penjualan rokok dan Total biaya yang dikeluarkan Perusahaan untuk menghasilkan rokok selama periode tertentu. Dalam Industri Oligopoli, perusahaan dapat mempertahankan keuntungan tanpa menaikkan harga yang memicu penurunan permintaan dengan cara melakukan program efisiensi penggunaan bahan baku yaitu melalui pemilihan bahan baku alternatif dengan harga terjangkau dan kualitas terjamin. Selain itu penghematan energi dan pemanfaatan semaksimal mungkin teknologi yang ada dalam memproduksi Rokok.

b. Eksternal
            Analisis Eksternal Produksi Rokok PT.Gudang Garam adalah analisis untuk mengetahui kondisi persaingan atas penguasaan pasar Rokok PT.Gudang Garam tahun 2007 dibanding Perusahaan Pesaing dalam industri rokok di indonesia.  Melalui analisis Keuntungan Produksi Rokok yang dicapai PT. gudang Garam Tahun 2007 dan Tingkat Persaingan produksi rokok PT. Gudang Garam dalam Industri rokok di Indonesia, dapat ditarik garis besar bahwa Suatu Perusahaan yang termasuk dalam Kategori Industri Oligopoli harus memiliki 2 Target yang berjalan beriringan yaitu :
1. Perusahaan Mampu meningkatkan perolehan keuntungan bersih perusahaan dalam jangka panjang.
2. Perusahaan mampu meningkatkan Total Produksi untuk menguasai pasar di atas para perusahaan pesaing dan menjadi Pihak yang dominan dalam penguasaan kondisi pasar baik dalam penetapan tingkat harga barang hingga tingkat kualitas barang.
























BAB III.
PENUTUP
A. KESIMPULAN.
            Dilihat dari segi keuntungan, pendapatan negara oleh produksi rokok sangat besar tetapi sama dengan pengeluarannya dikarenakan bea cukai yang cukup besar.  Manfaat dari rokok hanya berada pada produsen yang menghasilkan rokok. Tentunya juga untuk para pekerja dan buruh yang terkait dengan pembuatan rokok. Karena rokok mereka dapat mencapai keuntungan yang besar dan dapat bertahan hidup. Lain halnya dengan pengguna, khususnya para remaja dan orang tua yang mayoritas mengkonsumsi rokok setiap harinya. Sampai ada yang menjadi perokok berat. Rokok dapat merusak kesehatan karena banyaknya unsur-unsur zat kimia yang terkandung didalamnya.
            Dilihat dari pabrik yang memproduksi rokok yaitu PT. Gudang Garam, PT. Gudang Garam Tbk. adalah salah satu Perusahaan Rokok dari 4 Perusahaan besar lainnya seperti PT. HM Sampoerna, PT. Djarum, Philip Morris Co.Ltd dan PT. Bentoel yang termasuk dalam kategori Industri Oligopoli dengan menguasai hingga 30% Produksi Rokok Kretek Nasional pada tahun 2007. Dalam Persaingan Industri Rokok sebagai Industri oligopoly, Setiap perusahaan terkait memiliki peran untuk saling meningkatkan produksi rokok dengan tujuan menjadi perusahaan yang dominan dalam penguasaan pasar sehingga memiliki kekuatan untuk menetapkan standar harga dan kualitas rokok yang ada dalam pasar yang secara tidak langsung akan memberikan reaksi perusahaan pesaing lain untuk menyesuakan diri.
B. KRITIK DAN SARAN.
1.      Dari makalah yang telak kami buat ini kami berharap negara Indonesia tidak hanya memanfaatkan rokok sebagai penghasil devisa negara, tetapi juga sebagai motivasi untuk mengurangi jumlah kematian akibat rokok dan pengeluaran bea cukai yang cukup besar untuk produksi rokok.
2.      PT. Gudang Garam walaupun sangat membantu sebagai penerimaan penghasilan negara tetapi juga sebagai neraka bagi Indonesia, karena banyaknya jumlah kematian yang dihadapi rakyat Indonesia karena rokok. Tetapi juga PT. Gudang Garam sebagai sponsor terbesar untuk menuju kemajuan negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar